“Tapi saya dah ada calon sendiri mak, saya….” tak sanggup aku melanjutkannya.
Emak memelukku. “Ya, emak paham, tapi
emak mohon sekali ini saja, sebelum emak menyusul ayah kamu.
Emak ingin
melihat kamu menikah dengan perempuan yang hati emak inginkan,” suara
emak mulai bergetar.
Kurasakan ada air hangat yang menitis ke atas bahuku. Malam itu tubuhku hanya dibalut singlet putih.
“Emak dah melihat Nini, menyelidiknya,
dan menurut penilaian emak, dia mampu menjaga kamu, menjaga anak² kamu
dan juga menjaga emak. Dia perempuan yang baik. Lembut perangainya,
halus budi pekertinya, dan In Shaa Allah dia sederhana lagi bersahaja,”
masih dalam pelukan, suara emak mulai lemah di telingaku.
“Tapi macam mana dengan Lia, mak?”
“Emak tahu kamu sudah memilih Lia. Tapi dia itu belum pasti,” kali ini emak cuba mempengaruhi aku.
“Kamu tak perlu takut, In Shaa Allah Nini adalah perempuan dengan wajah cantik. Emak yakin itu,” tegasnya.
“Beri saya masa setidak-tidaknya seminggu mak. Saya ingin istikharah.”
Aku tidak mampu lagi menjawab….
Ah emak…seandainya engkau tahu betapa
dalam perasaan aku terhadap Lia. Walau aku hanya mengenalnya melalui
tulisan-tulisannya. Lia, sahabat penaku, perempuan yang aku kenal dari
sebuah forum di salah satu majalah remaja dahulu. Walau aku belum pernah
bertemu dengannya, penilaian aku langsung meletak Lia di ranking
tertinggi. Aku boleh menggambarkan diri Lia hanya dari penulisannya. Dia
perempuan yang mempunyai kelembutan. Wangi suratnya mengisyaratkan
wangi rambutnya. Halus sulaman kata² yang digunakannya mewakili
perangainya. Dan doa yang selalu dikirimkannya menggambarkan
kesolehannya.
Harus bagaimana nanti aku membalas
suratnya jika warkah Lia datang menjengukku. Terakhir kali aku berkirim
khabar bahawa ibu ingin menjodohkan aku dengan perempuan pilihannya. Itu
sebulan yang lalu. Aku langgar perjanjian kami untuk tidak memberikan
nombor handphone, alamat laman sosial, ataupun foto. Di surat terakhir
itu ku selitkan sebuah foto untuk kali pertama. Di belakang foto
tersebut ku tuliskan nombor telefon bimbit aku. Aku ingin tahu
reaksinya.
Namun setelah itu, surat² Lia tidak lagi
menjengah ke rumahku lagi. Dia tidak rajin lagi menitipkan rindu
seperti ddalam goresan penanya. Entah dia marah atau ingin menjaga hati.
Barangkali juga jarak.
Sebulan berlalu. Tidak ada jawapan
daripada Lia. Tidak ada surat. Apatah lagi telefon dan SMS yang
bertandang ke telefon bimbit ku. Aku pun memutuskan mengiakan permintaan
emak. Walaupun surat Lia datang, sebenarnya sangat berat aku menolak
permintaan emak. Setelah ayah menghadap Ilahi ketika aku berusia 10
tahun, hanya aku yang menjadi kebanggaan emak. Akulah racun, akulah
penawar bagi emak. Aku tidak sanggup melihat wajah kecewa emak saat
kalimat penolakan dari mulutku. Aku tidak sanggup menjadi anak derhaka.
Semoga Allah meredhai jalan yang aku pilih. Bukankah redha Allah itu
redha orang tua?
Emak gembira. Kesibukan pun langsung
melanda rumah peninggalan ayah. Rumah sibuk dihias. Emak dibantu
keluarga dan tetangga turut sibuk mempersiapkan hantaran. Tak menunggu
waktu, emak menyeretku ke kedai emas di pusat bandar.
“Kita beli mahar perhiasan emas untuk calon isteri kamu. Emak akan memilihkan,” ujarnya penuh semangat.
Gembira jiwa ini melihat emak gembira. Tapi hati ini masih di hayun rasa kebimbangan. Pertemuan kedua keluarga pun terjadi.
Ibu Nini adalah teman emak sewaktu mereka sama² mengajar beberapa tahun
silam. Oleh sebab itu mereka agak akrab.
Aku terdampar di rumah Nini di selatan
tanah air. Kulirik sedikit wajahnya yang dipalit sedikit solekan.
Bibirnya tersapu gincu tipis. Cantik juga. Wajahnya putih bersih,
matanya berbinar, pipi tambun berlesung pipit bersanding dengan hidung
mungilnya. Balutan jilbab merah menyempurnakan penampilannya. Tapi hati
ini masih bimbang.
Sebulan setelah pertunangan ringkas itu,
akad nikah dilaksanakan. Aku tidak banyak mengundang teman². Tetapi
tetamu yang hadir cukup banyak datang silih berganti. Aku dengar
keluarga Nini mengundang seribu jemputan. Diantara ribuan orang
tersebut, aku mencari sosok Lia. Berharap dia datang. Ahhhh….aku hanya
berkhayal, bagaimana dia tahu aku menikah hari ini, bila aku tidak
pernah lagi berkirim surat dengan gadis itu.
Malam pun tiba. Setelah lelah seharian
menajdi raja sehari. Usai membasuh riasan dan mengganti pakaian, aku
masuk ke kamar pengantin yang serba putih. Aku duduk mematung di pinggir
tempat tidur.
Sementara Nini, isteriku, baru sahaja
keluar dari kamar mandi. Dia memakai gaun putih panjang pemberianku yang
ada di dalam hantaran. Nini jauh lebih cantik bila rambutnya terurai.
Wajah dan tubuhnya begitu menggoda. Tapi tidak hatiku.
Nini mendekatiku. Dia tersenyum namun
wajahku datar sahaja. Tipis kulempar senyuman agar canggung mencair.
Nini semakin mendekatiku. Duduk merapat di samping kananku. “Bang,
akhirnya kamu menjadi halal untukku,” suaranya merdu.
Baru kali ini aku mendengar secara utuh,
setelah seharian aku hanya membisu di pelamin ketika dia mengajak
bicara. Berkhayal Lia yang ada di kamar itu. Berdua dengannya.
Kepalanya direbahkan ke bahuku. Sedikit
kaku, tapi kubiarkan. “Maaf, abang masih kaku,” kataku kepada Nini untuk
menyembunyikan keraguan.
“Saya tahu,” ujarnya melemahkan dan mengangkat kepalanya.
Dahiku berkerut, “Nini tahu apa?”
“Abang mencintai perempuan lain?”
Pertanyaan Nini benar² menampar hatiku.
Lidahku mematung di dalam mulut. Nini
mengetahui bila ada perempuan yang lebih dulu menyambar hatiku. Jelas
saja, sikap dinginku adalah refleksi dari pertanyaannya. Aku diam.
“Diam abang itu adalah jawapan.”
Ya Allah, maafkan aku bila fikiran ini
sudah masuk ke dalam jebak selingkuh. Padahal di hadapan aku ada
bidadari yang teramat cantik buat diri ini.
“Abang pasti sedang memikirkan Lia kan?” wajahku bingung.
Kuputar posisi duduk ke hadapannya.
“Dari mana Nini tahu tentang Lia?” aku masih kehairanan.
Dia beranjak dan mengambil sebuah kotak
kayu kira² berukuran 150X250mm dari dalam almari pakaian. Kulihat di
dalamnya ada puluhan, bahkan rautsan surat tersusun rapi di dalam kotak
warna coklat. Nini mengambil sekeping foto dan selembar surat yang
letaknya paling atas.
Surat itu, aku mengenalinya. Dan itu foto
aku yang aku titipkan bersama surat terakhir yang kukirim kepada Lia.
Nini tersenyum ketika kuambil surat itu.
“Saya Lia, bang. Nama Lia adalah nama
panggilan saya dirumah. Nini adalah nama singkatan dari nama saya,
Farlia Harnani. Saya mintak ibu sebutkan nama Nini sahaja ketika
memberitahu emak abang. Maafkan Nini abang, sebab menyembunyikan nama
sebenar saya.”
“Pada awalnya, Nini juga menolak
dijodohkan, tapi ketika ibu menunjukkan foto abang, hati saya mula
berbunga. Saya menggali informasi dari ibu untuk memastikan bahawa abang
dan foto yang ibu bawa adalah orang yang sama. Saya sudah tahu bahawa
abang adalah lelaki yang dijodohkan ibu. Sebab itu saya ingin membuat
kejutan kepada penjaga hati dan tubuh saya ini,” ujar Nini sambil
menguntum senyuman.
Kedua mata aku basah. Berair; Ya Allah,
engkau menyiapkan hadiah terindah yang tidak pernah aku duga. Ternyata
Lia dan Nini berasal dari satu jiwa. Dia wanita yang kucintai. Emak
ternyata mengerti keinginan anaknya.
Kredit to
Misteri Cinta
4 Komentar untuk "Jika memang engkau adalah jodohku"
InshaaAllah Ikaa. akan datang jodoh yang baik untuk awak. yang penting banyakkan berdoa pada DIA sahaja. :)
jodoh ini boleh diusahakan,
@boni kacak haha Boni nie siot jew...nie artikel laa..bkn pasal diri sndr aiyakk
@Muhammad Faiz Mohamed Saaid InsyaAllah... sampai la nnti..tapi jngn salah faham erk xde kaitan dengan penulis blog ini...huhu
Terima kasih untuk komen yang berharga anda, datang lagi.